Angin bertiup mendayu, menyapu dedaunan dihalaman
rumah baru keluarga Frudgie yang masih berantakan. Ilalang jingga setinggi 1
meter masih terdapat didepan pagar besi dan juga disekitar pohon ek yang
daunnya meranggas. Tepat diantara jumputan tinggi ilalang didepan pagar besi
terdapat kotak surat yang tiangnya miring ke arah barat. Alessa Frudgie
memperhatikannya sambil berauyun-ayun diatas ban mobil yang terikat ke pohon ek
meranggas. Alessa Frudgie adalah anak semata wayang dari John Frudgie dan
Natasha Frudgie, dan Alessa senang memperhatikan sesuatu.
Musim gugur hampir berakhir dan musim dingin hampir
tiba, angin bertiup sangat kencang setiap harinya. Pohon ek besar di depan
rumah keluarga Frudgie daunnya hanya tinggal beberapa helai. Sampai akhirnya,
helai terakhir jatuh pada malam dimana Alessa memperhatikannya lewat jendela.
“knock knock...” Natasha Frudgie muncul dari balik
pintu kamar Alessa, dia menutup pintu itu kembali setelah dia berada didalam.
Lalu wanita tengah baya itu berjalan melenggak kearah jendela dimana anaknya berdiri.
“sedang melihat apa?” Natasha menopang dagunya
diatas kepala Alessa, sambil tanggannya dilingkarkan dileher gadis yang sangat
dicintainya itu.
“bukan apa-apa Mom” Alessa mengelus tangan ibunya
sesaat lalu membalikan tubuh hingga mereka berdua berhadapan.
“aku hanya meresa tidak nyaman dirumah baru kita”
Alessa menunduk dengan nafas dalam seakan-akan berkilo-kilo batu ditempelkan
dibelakang kepalanya hingga membuat kepalanya berat dan dadanya sesak. Natasha segera
meraih dagu gadis itu dan perlahan mengangkatnya hingga mata mereka bertemu
pandang.
“kamu tahu bukan? Kita tidak punya pilihan. Ayahmu
bekerja di kota ini sekarang, dan disinilah kita tinggal. Kita tidak mungkin
tetap dirumah lama karena kau tahu...”
“aku mengerti” Alessa tersenyum, terlihat dipaksakan
namun senyumnya mampu membuat Natasha tersenyum juga. Mereka lalu berpelukan.
***
Alessa berumur 13 tahun, bertubuh ringkih dengan
kulit pucat. jari-jarinya panjang dan kurus, rambutnya lurus panjang berjuntai berwarna
cokelat kehitaman, wajahnya cantik mirip ibunya, matanya bulat dan indah namun
tidak bersinar, bibirnya manis namun senyumnya hampir menghilang, pipinya merah
tapi bukan karena merona.
Alessa suka berayun-ayun, ia ingin sekali bisa
terbang. Menurutnya dengan berayun dia bisa meresakan dirinya terbang. Dia
tidak suka naik kendaraan, dia tidak suka sekolah, dia tidak suka makan daging,
dia juga tidak suka berbicara kepada orang lain.
Krak!!
Kaki telanjang Alessa menginjak dahan kering dengan
bunyi krak yang cukup keras tepat pada langkahnya yang ketiga belas, Alessa
tidak sengaja menginjaknya karena matanya tengah mengawasi kalau-kalau orang tuanya
menemukan anaknya menyelinap pergi keluar rumah selarut ini.
Satu lagi, Alessa tidak suka memakai alas kaki, ayah
dan ibunya selalu mengingatkan tapi dia tidak pernah mendengar. Akibatnya
telapak kaki Alessa kasar dan penuh luka goresan. Tapi baginya bukan masalah
yang harus ditanggapi serius. Dia malah sudah terbiasa dengan ini.
Saat dia sudah berada sekitar 4 meter dari jendela
kamarnya --ya jendela kamarnya adalah pintu yang membawanya keatas tanah yang
dipayungi kegelapan ini-- dia berlari segera menuju ban mobil yang terikat pada
pohon ek yang telah gundul, Alessa duduk diatas benda bulat itu dan kemudian melangkah
mundur untuk ancang-ancang. Dia menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan
mata. Dia mengangkat kakinya dan Wingggg!! Angin malam musim gugur merasuki
kulit Alessa saat dia berayun-ayun, angin itu seperti menghisap segela
kepenatannya dan melepaskannya keudara dengan kurun waktu yang sangat cepat.
Gadis itu menambah kecepatan ayunannya semakin cepat dan cepat.
Srekkk.. Srekk.. Srekk!! Alessa menghentikan laju
ayunannya dengan cara mengadukan kakinya yang telanjang dengan tanah, tanah
yang dipijaknya mengepulkan debu kelabu yang sangat tebal dan dia mengaduh
karena kakinya menjadi panas dan sakit. Keningnya berkerut menatap sekeliling
dengan waspada
Srekkk.. Srekk.. Srekk... gadis itu turun dari
ayunan dan mengawasi sekitar “siapa itu?”
Tidak ada yang menjawab, bunyi srekk itu malah
terdengar semakin mendekat dan jelas.
Alessa mulai berputar-putar dan merasa ketakutan,
matanya mengawasi ilalang disekitar tempat ia berdiri, gadis itu lalu
melemparinya dengan batu kerikil, bunyi srekk itu tidak terdengar lagi setelah
itu. Namun selang beberapa waktu, saat Alessa mencoba menenangkan diri, bunyi
semak-semak bergemersik terdengar begitu mengganggu. Matanya menatap ilalang
dengan awas, seakan-akan dia siap berlari saat sesuatu yang menakutkan muncul
dari sana, Alessa menarik nafas pendek-pendek mencoba menghirup oksigen lebih sering
dari yang dia bisa.
Bunyi gemerisik itu semakin dekat terdengar, Alessa
mundur kebelakang dengan nafas masih tersengal. apapun yang muncul gadis itu
berharap dia bisa berlari kembali kerumahnya sekarang juga, tapi nyatanya dia
tidak melakukan itu. Dia tidak bisa.
“siapa itu?” Alessa bertanya sekali lagi dengan
suara bergetar, dia harap tidak ada yang menjawab pertanyaannya barusan,
sebenarnya dia berharap tidak ada siapapun dibalik semak itu atau apapun, angin
bertiup semakin kencang dan malam sudah semakin larut. Kegelapan dan angin
malam mengingatkan Alessa pada hantu tanpa kepala yang diceritakan ibunya
beberapa tahun yang lalu.
“selamat malam Alessa Frudgie” jantung Alessa hampir
saja berhenti berdetak ketika sebuah siluit gadis seumurannya muncul dari semak
ilalang dan menyapanya seakan teman baik.
Alessa mundur beberapa langkah, dengan CO2 masih
berada didalam dadanya. Siluit gadis itu semakin mendekat, membuat Alessa
semakin ketakutan. wajahnya mulai terlihat berwujud dan matanya berwarna biru
terlihat berkilat-kilat. Tiga langkah gadis itu maju kedepan, Alessa sudah bisa
melihat tubuhnya secara utuh.
“si..siapa kau?” Gadis itu tersenyum tepat saat
Alessa sudah bisa melihat rupanya secara keseluruhan. Gadis itu terlihat
seperti gadis 13 tahun lainnya, hanya senyum dan matanya sedikit terlihat jahat
dan menakutkan. Baju yang dipakainya kuno dan kulitnya lebih pucat dari Alessa.
“aku Helena Wudson” gadis yang bernama Helena itu
mengulurkan tangan, rambutnya yang mirip Alessa berkibar tertiup angin dan
seketika wangi melati menyeruak diudara. Alessa mengabaikan wangi yang menusuk
hidungnya tersebut dan malah dengan senang hati menjabat tangan Helena.
Tangan gadis itu sedingin es namun Alessa tidak
memperhatikan dan malah mengabaikan hal itu. Alessa tersenyum pada teman
barunya. Tak pernah ia lakukan sebelumnya.
“apa tadi?”
“apa?” Helena melangkah mendekati ban mobil dan
duduk disana, ia berayun-ayun kecil sambil menatap Alessa dengan tatapan aneh.
“suara tadi”
“oh, itu.. bukan apa-apa kok” Helena
berancang-ancang mundur, ia mengangkat tumit kakinya lalu mengangkatnnya dan
membiarkan dirinya berayun-ayun. Satu hal yang menarik, dia tidak memakai alas
kaki juga.
“kau ini siapa? Dimana rumahmu?” entah kenapa Alessa
kini jadi banyak bicara
“aku? Seperti yang kau tahu, aku Helena Wudson, dan
rumahku tidak jauh dari sini”
“apa yang kau lakukan disini malam-malam begini?”
“menurutmu kamu sendiri sedang apa?” Helena menghentikan
laju ayunannya dengan cara yang dilakukan Alessa tadi, namun dia tidak mengaduh
dan terlihat baik-baik saja walaupun debu yang mengepul lebih banyak dari
Alessa tadi
“aku hanya mencari udara segar”
“sepertinya akupun begitu” Alessa mengerutkan dahi
“sudah sangat malam, lebih baik aku pulang dan kau
juga. Mmm.. Helena, bagaimana kalau kau kerumahku besok siang?” Helena
mengangguk
“oke, sampai jumpa besok!” Helena masih berayun-ayun
kecil dibawah pohon ek gundul saat Alessa berlari meninggalkannya. Matanya
memperhatikan Alessa dengan seksama, seakan tak ingin lepas dari sosok teman
barunya itu. Tangannya melambai membalas lambaian tangan Alessa saat dia hendak
mengerek gorden.
Helena tersenyum, senyum aneh yang seharusnya tak
tersungging dari bibir gadis 13 tahun. Helena tertawa, lalu tubuhnya melayang
dan hilang bagaikan asap.