Selasa, 04 Desember 2012

Alessa dan Helena

“aku bertemu dengannya ketika aku bermain ayunan...” Alessa tidak berbohong, tidak terlalu jujur juga. Matanya melihat ibunya degan perasaan takut. Namun ibunya terlihat lebih takut dari dia sendiri.
“mom kenapa?” Alessa menatap ibunya, nathasia hanya tersenyum
“tidak apa-apa sayang” Nathasia lalu pergi ke kamarnya. Ia meninggalkan anaknya yang tengah terkantuk-kantuk memeluk tonk.
Ia tidak mendapati Josh disana, ia berbaring dan mentatap langit-langit, lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan damai. Wajah Helena Wudson secara tiba-tiba muncul ketika ia menutup mata.
“ah anak kecil itu!” Nathasia segera membuangnya jauh-jauh.
Ia segera membuka mata dan semuanya berubah. Atau hanya perasaannya saja? Tidak, tidak, memang ada yang berubah. Bahkan tubuhnya juga. Nathasia menatap pergelangan tangannya yang terasa lebih kecil, tubuh yang sepertinya lebih pendek, dan kulit wajahnya lebih halus dari yang ia ingat. Kini ia berwujud seperti gadis kecil berusia 13 tahun dengan gaun malam robek-robek. Nathasia tidak pernah memilikinya. Sama sekali belum pernah. Bahkan saat dia menatap cermin, itu sama sekali bukan wajah masa kecilnya. Bukan.
‘apa yang terjadi?’
“mau bermain?” suara anak 13 tahun terdengar dari luar jendela. Bukan suara Nathasia sama sekali. Bukan, ada anak lain disini selain dirinya. Gadis berusia kira-kira 13 tahun...
“Helena Wudson”
“ya, ini aku. Ayo kita main!” kepala gadis 13 tahun menyembul dari balik jendela. Wajahnya manis. Tidak menyeramkan sama sekali. Helena tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya kepada Nathasia.
Dengan takut-takut Nathasia menghampiri Helena.
“ayo, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu” akhirnya Nathasia mengangguk, ia melompati jendela dan mengikuti kemana Helena pergi. Walaupun sebenarnya dia tidak ingin.
‘ini hanya mimpi’ pikirnya dalam hati. ‘Tubuh ini bahkan bukan miliknya’
Mereka berdua lalu berlari-lari kecil melewati rumput-rumput ilalang yang tingginya sedada, melompati sungai jernih. Dan mendaki bukit kecil yang banyak ditumbuhi krisan. Lalu Helena berhenti, Nathasia juga.
“aku tidak sanggup lagi berada dirumah” Nathasia memperhatikan Helena, gadis itu terlihat sedih dan menitikan air mata. “aku selalu diperlakukan tidak baik, aku selalu dipukuli ayah, aku selalu dimarahi ibu, seperti yang kamu tahu.. aku sudah tidak sanggup Nina”
‘Nina?’ Nathasia bahkan terkejut mendengar nama itu ‘aku bukan nina’
“kenapa? apa salahmu?” ada perasaan bergejolak disana, ada rasa ingin tahu yang besar tentang gadis sendu disebelahnya. Gadis yang menyeramkan, begitulah seingat Natasha.
“aku tak tahu, bahkan aku rasa aku selalu melakukan yang terbaik yang diperintahkan ayah dan ibu. Tapi nyatanya bagi mereka aku selalu salah” bulir-bulir air mata tergenang dipelupuk mata Helena yang indah, matanya yang biru menunjukan ketulusan yang dibalas oleh penderitaan. Dia bahkan tidak menyeramkan sama sekali.
“lalu apa yang akan kamu lakukan?” mata berkaca-kaca Helena menatap Nathasia, tatapan yang datar dan semuanya terasa berputar. Menghilang bagaikan asap hitam dan Nathasia mendapati dirinya berada dikamarnya. Itu benar-benar mimpi. Mimpi yang aneh.
__
“Nina, aku bukan anak mereka, aku bukan adik Alexander. Aku bukan bagian dari keluarga Wudson. Aku benci mereka Nina, aku benci mereka! Siapa sebenarnya aku? Darimana asalku Nina? Jawab aku Nina, Jawab!!” Helena menjerit, bukan pada Nathasia, melainkan pada –yang diasumsikan Natasha—Nina asli.
“aku tidak tahu Helena, aku tidak tahu, tenanglah!” Nina mengusap usap punggung Helena dengan lembut.
“aku akan balas semuanya, aku akan balas. Lihat saja Nina. Aku benar-benar akan membalas mereka!” Lalu semuanya berubah menjadi asap, mata biru Helena yang menyala-nyala menghilang bersama asap yang berputar-putar itu. Lalu Natasha mendapati dirinya tengah menatap secangkir coklat panasnya dengan tatapan kosong.
Salju tidak sederas tadi pagi, John pulang dengan membawa banyak makanan pada pukul 5. Alessa kini sudah lebih baik dari sebelumnya. Tangan mungilnya tetap memeluk Tonk, seakan dia takut Helena akan kembali dan menyentuhnya, bahkan merebutnya.
Malam ini mereka bertiga makan malam dengan suka cita.
--
“ibu, apa benar aku bukan anakmu?” Helena meletakan piring terakhir yang baru saja dicucinya. Lalu tak berani menatap ibunya—atau bukan ibunya sama sekali--
Anna Wudson –ibunya atau bisa juga bukan ibunya—mengerutkan kening, menatap Helena dalam dan mencibirnya.
“menurutmu bagaimana?”
“a..a..aku tidak tahu, ayah bilang aku bukan anak kalian” tatapan Anna berpaling ke tumisan yang sedang dimasaknya. Mengabaikan Helena yang sedang bersedih tanpa belas kasih.
“oh.. dia sudah mengatakannya ya?, baguslah kalau begitu”
“jadi?” mata Helena membesar, genangan air dipelupuk matanya hampir tak terbendung, mata birunya berkabut sendu.
“tentu saja kamu bukan anak kami!, sudah jangan banyak tanya. Kamu harus mencuci bukan? Dasar anak tidak berguna” Anna ternyata bukan ibunya. ‘pantas saja, pantas saja!!’ Helena menjerit kesakitan di dalam hati, dia meninggalkan dapur. Bukan untuk mencuci baju, tapi pergi entah kemana. Yang jelas bukan ketumpukan baju. Bukan.. Natasha tidak tahu karena semuanya sudah terlanjur menjadi asap.
“mom! Mom kenapa?”
“tidak apa-apa sayang, Mom hanya sedikit mengantuk”
“psttt..” mata Alessa terjaga, ia menoleh kearah seseorang yang memanggilnya. Seseorang yang berada dibalik tirai jendela.
Alessa meringis, pikirannya tertuju pada Helena, teman misteriusnya.
“ini aku..... Helena” benar saja, pikir Alessa. Gadis itu lalu bangun dari perbaringannya, mengibakkan selimut lalu memantapkan hati untuk bertemu dengan Helena.
Alessa berjalan perlahan, takut-takut kalau Helena menjadi semenyeramkan waktu itu. Ia tetap memeluk boneka beruangnya dengan erat.
Helena tersenyum saat Alessa menyibakan tirai, masih dengan baju kuno yang dulu. ‘tidak kah dia punya pakaian lain?’ Alessa bertanya dalam hati, lagian dengan baju seperti itu mana bisa orang normal tahan terhadap cuaca musim salju, apalagi dengan kaki yang selalu telanjang, itu sangat tidak mungkin.
“bukakan jendelanya, aku ingin masuk” Alessa hanya mengangguk, tak bisa mengelak. Ia takut Helena jadi berubah menyeramkan.
Saat jendela kaca tersebut terangkat, udara dingin menyeruak membentur kulit Alessa yang terbalut piyama tipis bercorak bunga-bunga. Tanpa dipersilahkan, Helena sudah memanjat dan berhadapan dengan Alessa. Gadis itu menatap Tonk dengan sudut matanya, ia tersenyum dan memicing. Alessa memeluk Tonk semakin erat.
Alessa kembali menutup jendelanya rapat-rapat. Ia menyilahkan Helena duduk namun Helena malah berbaring.
“Helena, aku sudah menceritakan tentang kamu pada mom”
“lalu?” Helena bangun dan duduk
“mm... mom ingin aku mengenalkanmu padanya”
“ah tidak usah sekarang, sekarang sudah terlalu malam” Alessa melirik jam digital disebelah ranjangnya ‘11.16 pm’. Lalu diam.
“Alessa, maafkan aku atas kejadian waktu itu” Helena menatap Alessa dalam, sepertinya memang benar-benar dalam.
“tidak apa-apa Helena, aku sudah memaafkanmu” Alessa tersenyum, rasa takutnya pada Helena sudah lenyap, mungkin karena tatapannya itu. Tatapan yang benar-benar magis.
“aku ingin kamu mengunjungi rumahku” Helena berdiri lalu berjalan kearah jendela dengan langkah ringan seringan kapas yang tertiup angin. Alessa menatapnya bingung, lalu mengangguk entah kenapa.
Alessa segera mengganti piyamanya dengan baju tebal dan celana panjang berbahan kulit dan juga sepatu boots.
Kemudian gadis itu mengendap keluar bersama Helena.
 

When You Close Your Eyes Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Ipietoon | Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template