Selasa, 13 Agustus 2013

Alessa dan Helena

“John, Alessa menghilang!” Natashamenjerit, john segera terbangun lalu berlari kekamar Alessa sambil mengenakansweater. Ia menuju kamar dimana istrinya berada. Lelaki itu segera memelukNatasha.
Natasha menangis, bahunya berguncang.
Waktu masih menunjukan pukul setengah 3malam
***
“apa rumahmu masih jauh?” Alessabertanya, langkahnya waspada melewati jalanan yang licin dan bersemak. Diaberjalang dibelakang punggung Helena.
“sebenarnya, aku tidak akan mengajakmukerumahku” Helena tidak berhenti, bahkan menolehpun tidak, namun tidak denganAlessa, gadis itu mengerutkan kening.
Helena tahu Alessa tidak mengikutilangkahnya.
“ayolah, aku hanya inginbersenang-senang denganmu. Mungkin berbagi cerita? Bagaimana? ....Kau tidakingin tahu tentang aku?”
Alessa terdiam lalu berjalan lagi,Helena menunggu sampai gadis itu berdiri sejajar dengannya lalu melangkahbersama-sama. Helena tersenyum, Alessa tidak. Dia bahkan tidak mengerti tentangini semua.
Helena berlari saat dia sudah menemukantanah lapang didepannya. Tidak benar-benar lapang sih. Cuma lebih sedikit semakdan salju. Dia lalu berbaring ditanah. Alessa berdiri, menatapnya seolah ingindi mengerti. Dia tidak ingin tiduran diatas tanah bersalju.
Helena lalu mengangkat kepalanya danduduk. Kali ini Alessa mengikuti. Ya, sepertinya Helena selalu tau, apa yang membuatAlessa nyaman.
“kamu ini seperti teman lamaku” Helenatersenyum, tidak pernah sejernih itu sebelumnya. Matanya menatap apapundisekitarnya dengan tatapan liar.
“hmm.. oh ya?” Helena mengangguk.
“dia Nina”
“dimana dia?” Helena terdiam, setelahnyamenghela nafas berat. Lalu Alessa merangkul bahu gadis bermata biru itu,seketika Helena tersenyum sedikit.
“menurutmu aku ini apa?” Helenabertanya, tidak memperdulikan pertanyaan Alessa barusan. Dia pikir Alessa tidakmenginginkan jawabannya.
Alessa mematung sejenak, lalumenyeringai dengan jahil.
“hantu?” Alessa tertawaterpingkal-pingkal membayangkan bahwa dirinya sedang mengobrol berdua denganhantu ditengah belantara, tidak ada yang akan menolong jika si Hantu maumenghisap darahnya ataupun sekedar membunuh.
Dia berniat bercanda. Tentu saja. Anehsekali padahal Alessa tidak suka bercanda.
“ya, mungkin jika kamu berpikir begitu.Aku hantu apa kamu takut?” Helena mengangkat tangannya bak nenek sihir yang maumencekik korbannya. Senyumnya menyeringai menakutkan.
“tidak, tentu saja tidak! Hahahaha”Alessa tertawa puas sekali. Helena tersenyum kecil.
“baiklah, apa menurutmu aku jahat?”Alessa berhenti tertawa.
“sedikit” Helena menoleh, lalu matanyamenajam.
“kamu menakutiku waktu itu. Lalu kamupergi begitu saja dan tidak mengunjungiku. Aku kesepian, sedikit sih.Orangtuaku sangat membosankan. Yaaahh.. walaupun aku takut kamu datang denganmuka menyeramkanmu lagi” Alessa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman. Helenadiam saja, tidak memberiakan reaksi yang berarti.
“apa kau berpikir bahwa aku terkutukjuga?” Helena menggeram, hampir mengeluarkan sisi lain dari dirinya. Sisi lainyang membuat Alessa menjerit dan takut. Sisi lain yang membuat Alessamenganggapnya jahat.
“terkutuk? Terkutuk semacam apa ya?Mungkin kutukan semacam.... pangeran harus menciummu dan kau akan berubah jadikedinginan saat musim dingin tiba. Hahahaha...”
Helena nyengir. Alessa kembali tertawa,dia membayangkan Helena mengetuk jendela kamarnya dengan pakaian hangat dariwol yang sangat tebal, semacam orang-orang eskimo. Itu sangat lucu dan trendy.Helena lalu diam lagi, mungkin dia sedang memikirkan pertanyaan berikutnya.
“Alessa, bagaimana kalau aku ini hantuterkutuk yang ingin membunuhmu?” Alessa terdiam, berpikir sejanak. Lalu tertawalagi.
“kalau begitu lakukan!” Alessatersenyum, lalu tertawa lagi.
--
Sejak semalam, John dan Natasha mencariAlessa kemana-mana. mereka menanyakan pada tetangga terdekat namun tentu sajatidak ada. Lalu pada jam 5 pagi. Entah, Natasha berfirasat bahwa Alessa pergiketempat itu. Tempat Helena dan Nina, tempat dimana dia berada saat mimpi-mimpianeh itu. John tidak punya pilihan kecuali mengikuti Natasha.
Natasha mengingat-ingat jalan menujutempat yang sedang ia pikirkan, mungkin tempat ataupun rutenya agak berbedakarena sudah berpuluh-puluh tahun berlalu.
Mereka berdua beberapa kali tersesat,namun tak pernah menyerah dan mengeluh. Sebenarnya John iya, tapi tidak denganNatasha, dia takut dengan segala kemungkinan yang berputar-putar diotaknyaterhadap Alessa. Sedangkan John tidak mengalami mimpi itu, tidak mempercayaikeberadaan Helena, dan apapun yang tidak masuk akal.
Sampai akhirnya, langit berubah menjadiberwarna lebih cerah. Natasha menemukan tanah lapang. Benar saja Alessatergeletak disana. Disebelah gundukan tanah bersalju.
“Alessa!” Natasha berteriak sakingsenangnya. Namun Alessa tak bergerak, kemungkinannya dia mati. ‘Oh tidak!’Natasha tidak ingin itu terjadi. Dia lalu menghampiri anaknya. John, tentu sajamengikuti.
“Alessa?” mata Alessa mengerjap-ngerjap,mencoba mengumpulkan kesadaran sepenuh mungkin. Tapi gadis itu sangatmengantuk. Dia terkulai lagi.
“John gendong dia!” John mengais tubuhAlessa, lalu meletakannya dipunggung. John tidak kelihatan begitu senang. Diaterlihat sangat lelah dan mengantuk. Natasha menyesal harus membangunkannya.Padahal sepertinya ia sanggup mencari Alessa sendirian. John menatap Natashaseakan berkata ‘ayo kita pulang’ Natasha tersenyum kecil dan mengangguk seakanmenjawab ‘iya’.
John berjalan didepan, namun Natashabelum beranjak. John tahu itu. Dia berbalik tapi dia terlalu lelah untukberteriak menyuruh istrinya mengikuti.
“aku dibelakangmu kok” Natashaberteriak, John melanjutkan berjalan menuju rumah tanpa ingin memastikan.
Natasha menatap gundukan tanah berselimutsalju. Dia melihat nisan, bukan nisan salib. Namun batu. Ya tentu saja batukarang biasa, besarnya hampir sekepala. Ada ukiran disana jelas sekali. “Nina”memang hanya itu. Ukirannya amatiran sekali. Tidak rapi, seperti ditoreh olehbatu tajam begitu saja.
“kamu sudah tahu terlalu jauh” Natashatersengal saat mendapati suara tepat berasal dari belakangnya. Dia menolehsegera, sangat refleks ‘Helena?!’
“ya, aku Helena!” Natasha mengerutkandahinya ‘bagaimana bisa?’
“tentu saja bisa!” Helena menatapnya galak.Natasha lalu berniat untuk tidak mengatakan apapun dalam hatinya.
“apa kamu pikir aku ini terkutuk?”Natasha menggeleng pelan, dia ketakutan. Tentu saja.
“bahkan kamu sudah tau semuanya. Hmmm..mungkin tidak semua”
Natasha bingung sekelilingnya berputardan kepalanya pusing. Lalu dia melihat Nina berdiri dihadapan Helena denganmuka pucat dan tubuh lunglai dikamar anaknya. Dia hafal betul kejadian ini, tapitentu saja dia tidak menjadi Nina sekarang. Dia menjadi dirinya sendiri.Menyaksikan betapa menyeramkannya anak 13 tahun yang saling membantai.
 Bibir Nina tersenyum, punggungnya tertusukpisau. Ditusukkan oleh Alexander, tentu saja Alexander berada dibelakang Ninadengan muka pucat pasi. Helena berteriak-teriak memanggil Nina dan mengutukAlexander. Lalu Helena mengambil pisau daging yang digunakannya--jugaAlexander-- untuk membunuh. Alexander menahannya, tapi tentu saja ia tak bisa.Kekuatan helena berlipat-lipat saat amarahnya memuncak. dan dengan seketikagadis itu menebas leher Alexander hingga hampir putus. Sama dengan ayah danibunya—atau bukan sama sekali--.
Natasha melihat Helena menangis,berteriak bahwa dia menyesal. Bukan karena ia membunuh keluarganya. Tapi diatelah membiarkan Nina terbunuh. Tragis sekali. Sampai akhirnya natasha menyaksikanHelena menusuk dadanya sendiri. Menusuk—mungkin—tepat dijantung. Iya merintih,tak langsung mati. Dia berbaring, memegang tangan nina lalu tersenyum. Natashabelum bisa memastikan Helena benar-benar mati.
Dan semuanya berputar lagi sebelum Natashatau jawabannya. Natasha kembali dihadapan Helena. Bulu kuduknya jadi merinding.
“bagaimana menurutmu?”
“menyedihkan?” Natasha menjawabalih-alih jawabannya seperti pertanyaan. Helena tersenyum.
“memang. Kau tau aku masih hidup”Natasha mengangkat wajahnya, sekedar memastikan apakah kaki gadis itu menyentuhtanah. Dan ya, tentu, jelas sekali. Dia juga berpikir apakah itu modelpernyataan atau pertanyaan. Gadis ini memang aneh.
“jangan ceritakan pada siapapun” Natashamengangguk, walau tidak mengerti.
***
Cuaca tidak sedingin biasanya, musimdingin akan segera berakhir, berganti dengan musim semi yang hangat. Alessamenghitung cokelat dilacinya. Lalu seseorang datang membuat jantungnya hampirmeloncat.
“Helena!!!!” Helena tertawa, yap..tertawa seperti manusia pada umumnya.
“mau cokelat?” Alessa mengacungkansebatang cokelat didepan wajah gadis pucat itu.
“boleh juga” Helena lalu membukabungkusnya dan mulai mengunyah cokelat batangan pemberian Alessa tersebutdengan penuh minat dan penghayatan.
“hahaha... aku baru pertama kalimelihatmu bertingkah seperti manusia” Alessa tertawa. Terpingkal tak tertahan.Gadis bermata biru didepannya sering membuatnya tertawa akhir-akhir ini. Helenamengacungkan jari-jarinya hendak mencekik.
“sini kamu!” Helena berteriak. Alessaberlari mengelilingi kamar sambil tertawa menghindari Helena. Lalu hap!, Helenamenangkap tubuh Alessa dan berguling dikasur. Helena menjulurkan tangannyakeleher Alessa. Sesaat hening. Lalu terdengar suara tawa membahana. Helena menggelitikAlessa membuat perut Alessa kram karena tertawa berlebih.
Natasha mendengarkan. Tentu saja. Tapitidak apa-apa kok!
------END-------

Jumat, 08 Februari 2013

Alessa dan Helena

“ayah, sebenarnya anak siapa aku ini?”
“kau itu anak terkutuk! Kau bukan anakku!”
Natasha menyaksikan Helena bersujud dikaki ayahnya, meraung-raung namun ayahnya mengabaikan tanpa belas kasihan. Ibu dan kakaknya hanya diam dengan senyum yang kejam. 
‘apa yang sebenarnya terjadi?’
Semuanya lalu berputar menjadi asap dan dia berada ditempat yang berbeda, dia sangat tahu dimana dia sekarang. Didepan rumahnya dengan latar berpuluh-puluh tahun yang lalu. Natasha merasa kalau dirinya masih dialam mimpi dia sangat mengerti. Karena suasana ini begitu sangat dikenalnya. Dia menggunakan tubuh Nina.
Seseorang menjerit, memekik.
“anak terkutuk kau!” Natasha panik, lalu berlari kedalam rumah, sebenarnya tak ia inginkan.
Rumahnya –atau pada saat itu masih rumah Helena—begitu porak poranda, guci mahal keluarga Wudson pecah dengan potongan beling disana-sini, kursi gelas piring semuanya kacau. Yang paling tragis, darah berceceran dilantai. Natasha belum tau darah siapakah ini. Dia benar-benar panik, jangan-jangan keluarga Wudson membunh Helena.
“anak terkutuk kau!” Anna wudson menjerit lalu berteriak dengan suara melengking dari ruang keluarga. Suaranya kemudian menghilang secara tiba-tiba. Natasha langsung menuju kesana. Dia hampir menjerit saat tahu apa yang terjadi. Matanya membelalak tak percaya. Helena memang tak ada disana. Tapi Helenalah yang melakukan ini.
Tubuh Anna Wudson bersimbuh cairan merah, lehernya nyaris putus dan mengalirkan darah segar sangat banyak sampai mengaliri seluruh kulitnya yang halus. Gaunnya yang putih dan indah sudah tak karuan. Natasha bergidik ngeri lalu memalingkan wajahnya. Tepat saat dia berpaling, Peter Wudson teronggok mengenaskan lebih dari Anna.
‘ya Tuhan’ Natasha hampir menangis dan meraung ingin bangun. Ia menampar dirinya sendiri tapi tak berhasil.
“Jangan bunuh aku Helena! Aku ini kakakmu!”
“kau bukan kakakku! Kau sama saja!” 
Natasha segera berlari, entah mendapat kekuatan dari mana rasanya dia ingin sekali mencegah Helena. Natasha tergesa menuju kamar yang mungkin kamar Alexander. Hatinya lalu miris ketika ingat bahwa itu kamar Alessa putri tunggalnya.
Ia melihat belati didinding lalu mengambilnya. Dia sudah tidak tahan dengan kata-kata permohonan Alexander yang sungguh menyayat.
“aku menyayangimu Helena”
“tidak! Kau tidak menyayangiku. Kau hanya takut!”
Saat Natasha masuk kekamar dimana Alexander dan Helena berada, Helena sedang mengacungkan pisau daging tinggi-tinggi. Seketika tubuh Natasha bergetar ketakutan. Langkahnya terhenti. Alexander tahu Natasha datang, namun Helena tidak, dia terlalu asyik mengancam kakaknya –atau bukan kakaknya sama sekali—.
“Kau harus mati!” Helena mengayunkan pisau daging lebih tinggi lagi, siap ditebaskan ke leher Alexander, Alexander menutup matanya rapat-rapat. Bersamaan dengan itu Natasha berlari menuju gadis kejam itu. Lalu, Natasha memeluknya dari belakang hanya dengan satu tangan yaitu tangan kiri tangan kiri, tangan kanannya masih memegang belati dengan kuat.
“Nina?” Helena terhenti, mendapati sahabatnya –Nina—sedang memeluknya dengan erat.
“jangan...” Natasha berkata lirih dengan airmata tergenang dipelupuk. Mata Helen berkabut mendapati sahabatnya menyaksikan apa yang sedang ia lakukan. 
Namun Helena mendorong tubuh Natasha kebelakang hingga terjatuh. Belati yang dipegangnya menggelinding menghasilkan bunyi yang membuat Helena menatapnya dengan tajam.
Alexander membuka mata dan menatap keduanya secara bergantian.
“kau ingin membunuhku?” Helena berbalik, kini menghadap Natasha yang tersungkur dilantai. Mata birunya menyala-nyala sangat menakutkan.
Natasha mengeleng pelan, lalu meraih belatinya secara sembunyi-sembunyi.
“aku ini sahabatmu Helena, mana mungkin..”
“lalu mau kau apakan belati itu?” Helena menunjuk benda kecil ditangan kanan Natasha dengan dagunya.
Natasha berdiri bangkit “aku ingin membunuh Alexander” Alexander yang sedari tadi mengawasi keduanya berubah menjadi semakin pucat. Matanya melebar penuh rasa was-was.
“boleh tidak?” Helena menatap Natasha ragu-ragu, kemudian mengangguk pelan.
“pake ini! Dia ngga akan mati pake begituan” Helena merebut belati dari tangan Natasha lalu melemparnya, dia lalu memberikan pisau daging sebagai gantinya.
Natasha mengangkat pisau daging itu tinggi-tinggi lalu mengayunkannya kearah Alexander. Dia sendiri bingung apa yang ia lakukan. Seharusnya dia membunuh Helena bukan Alexander. Ayunan pisau daging itu dihentikannya tepat saat ujungnya sudah sedikit menggores kulit leher Alexander. Alexander menjerit ketakutan.
“kenapa berhenti?”
Natasha diam, dia menjatuhkan pisau daging dari tangannya lalu merasakan tubuhnya bergetar hebat. Kemudian entah bagaimana dia memeluk Helena dan menangis. Tubuhnya seakan diselimuti kesedihan yang teramat dalam. Padahal dia tidak sedih sekali.
“aku menyayangimu Helena. Aku tidak sanggup melihatmu menjadi pembunuh. Kau sahabatku Helena kau sangat baik. Aku tidak bisa... aku tidak ingin melihatmu membunuh” Natasha terisak. Mungkin bukan dia, tapi sisi lain dari tubuh gadis kecil yang ia rasakan jadi tubuhnya. Ini Nina! Bukan dirinya.
Helena melepaskan pelukan Natasha—atau Nina—dengan mata berkaca-kaca. Dirasakannya kuku Nina mencengkram punggungnya erat sekali.
“Ninaaaaaa!!!” Helena menjerit! Saat menyadari sahabatnya sudah berubah menjadi pucat. Cengkraman dipunggungnya semakin erat lalu melemah.
Natasha sendiri merasakan sesuatu menusuk punggungnya. Terasa sangat menyakitkan dan dalam. Dia mendengar Helena memanggil nama Nina dengan jeritan.. namun suara itu semakin menghilang dan terasa semakin jauh. Tubuhnya terasa lemas, kakinya bagaikan takbertulang. Natasha roboh, lalu semuanya berputar dan menghilang. Dia terbangun dikamarnya dengan bermandi keringat dan air mata.

--
Natasha bergegas menuju kamar Alessa, memastikan bahwa anaknya baik-baik saja.
Namun anaknya tidak disana.
 

When You Close Your Eyes Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Ipietoon | Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template