“aku bertemu dengannya ketika aku bermain ayunan...”
Alessa tidak berbohong, tidak terlalu jujur juga. Matanya melihat ibunya degan
perasaan takut. Namun ibunya terlihat lebih takut dari dia sendiri.
“mom kenapa?” Alessa menatap ibunya, nathasia hanya
tersenyum
“tidak apa-apa sayang” Nathasia lalu pergi ke
kamarnya. Ia meninggalkan anaknya yang tengah terkantuk-kantuk memeluk tonk.
Ia tidak mendapati Josh disana, ia berbaring dan
mentatap langit-langit, lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan
damai. Wajah Helena Wudson secara tiba-tiba muncul ketika ia menutup mata.
“ah anak kecil itu!” Nathasia segera membuangnya
jauh-jauh.
Ia segera membuka mata dan semuanya berubah. Atau
hanya perasaannya saja? Tidak, tidak, memang ada yang berubah. Bahkan tubuhnya
juga. Nathasia menatap pergelangan tangannya yang terasa lebih kecil, tubuh
yang sepertinya lebih pendek, dan kulit wajahnya lebih halus dari yang ia
ingat. Kini ia berwujud seperti gadis kecil berusia 13 tahun dengan gaun malam
robek-robek. Nathasia tidak pernah memilikinya. Sama sekali belum pernah.
Bahkan saat dia menatap cermin, itu sama sekali bukan wajah masa kecilnya.
Bukan.
‘apa yang terjadi?’
“mau bermain?” suara anak 13 tahun terdengar dari
luar jendela. Bukan suara Nathasia sama sekali. Bukan, ada anak lain disini
selain dirinya. Gadis berusia kira-kira 13 tahun...
“Helena Wudson”
“ya, ini aku. Ayo kita main!” kepala gadis 13 tahun
menyembul dari balik jendela. Wajahnya manis. Tidak menyeramkan sama sekali.
Helena tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya kepada Nathasia.
Dengan takut-takut Nathasia menghampiri Helena.
“ayo, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu”
akhirnya Nathasia mengangguk, ia melompati jendela dan mengikuti kemana Helena
pergi. Walaupun sebenarnya dia tidak ingin.
‘ini hanya mimpi’ pikirnya dalam hati. ‘Tubuh ini
bahkan bukan miliknya’
Mereka berdua lalu berlari-lari kecil melewati
rumput-rumput ilalang yang tingginya sedada, melompati sungai jernih. Dan
mendaki bukit kecil yang banyak ditumbuhi krisan. Lalu Helena berhenti,
Nathasia juga.
“aku tidak sanggup lagi berada dirumah” Nathasia
memperhatikan Helena, gadis itu terlihat sedih dan menitikan air mata. “aku
selalu diperlakukan tidak baik, aku selalu dipukuli ayah, aku selalu dimarahi
ibu, seperti yang kamu tahu.. aku sudah tidak sanggup Nina”
‘Nina?’ Nathasia bahkan terkejut mendengar nama itu
‘aku bukan nina’
“kenapa? apa salahmu?” ada perasaan bergejolak
disana, ada rasa ingin tahu yang besar tentang gadis sendu disebelahnya. Gadis
yang menyeramkan, begitulah seingat Natasha.
“aku tak tahu, bahkan aku rasa aku selalu melakukan
yang terbaik yang diperintahkan ayah dan ibu. Tapi nyatanya bagi mereka aku
selalu salah” bulir-bulir air mata tergenang dipelupuk mata Helena yang indah,
matanya yang biru menunjukan ketulusan yang dibalas oleh penderitaan. Dia
bahkan tidak menyeramkan sama sekali.
“lalu apa yang akan kamu lakukan?” mata berkaca-kaca
Helena menatap Nathasia, tatapan yang datar dan semuanya terasa berputar.
Menghilang bagaikan asap hitam dan Nathasia mendapati dirinya berada
dikamarnya. Itu benar-benar mimpi. Mimpi yang aneh.
__
“Nina, aku bukan anak mereka, aku bukan adik Alexander.
Aku bukan bagian dari keluarga Wudson. Aku benci mereka Nina, aku benci mereka!
Siapa sebenarnya aku? Darimana asalku Nina? Jawab aku Nina, Jawab!!” Helena
menjerit, bukan pada Nathasia, melainkan pada –yang diasumsikan Natasha—Nina
asli.
“aku tidak tahu Helena, aku tidak tahu, tenanglah!”
Nina mengusap usap punggung Helena dengan lembut.
“aku akan balas semuanya, aku akan balas. Lihat saja
Nina. Aku benar-benar akan membalas mereka!” Lalu semuanya berubah menjadi
asap, mata biru Helena yang menyala-nyala menghilang bersama asap yang
berputar-putar itu. Lalu Natasha mendapati dirinya tengah menatap secangkir
coklat panasnya dengan tatapan kosong.
Salju tidak sederas tadi pagi, John pulang dengan
membawa banyak makanan pada pukul 5. Alessa kini sudah lebih baik dari
sebelumnya. Tangan mungilnya tetap memeluk Tonk, seakan dia takut Helena akan
kembali dan menyentuhnya, bahkan merebutnya.
Malam ini mereka bertiga makan malam dengan suka
cita.
--
“ibu, apa benar aku bukan anakmu?” Helena meletakan
piring terakhir yang baru saja dicucinya. Lalu tak berani menatap ibunya—atau
bukan ibunya sama sekali--
Anna Wudson –ibunya atau bisa juga bukan
ibunya—mengerutkan kening, menatap Helena dalam dan mencibirnya.
“menurutmu bagaimana?”
“a..a..aku tidak tahu, ayah bilang aku bukan anak
kalian” tatapan Anna berpaling ke tumisan yang sedang dimasaknya. Mengabaikan
Helena yang sedang bersedih tanpa belas kasih.
“oh.. dia sudah mengatakannya ya?, baguslah kalau
begitu”
“jadi?” mata Helena membesar, genangan air dipelupuk
matanya hampir tak terbendung, mata birunya berkabut sendu.
“tentu saja kamu bukan anak kami!, sudah jangan
banyak tanya. Kamu harus mencuci bukan? Dasar anak tidak berguna” Anna ternyata
bukan ibunya. ‘pantas saja, pantas saja!!’ Helena menjerit kesakitan di dalam
hati, dia meninggalkan dapur. Bukan untuk mencuci baju, tapi pergi entah
kemana. Yang jelas bukan ketumpukan baju. Bukan.. Natasha tidak tahu karena
semuanya sudah terlanjur menjadi asap.
“mom! Mom kenapa?”
“tidak apa-apa sayang,
Mom hanya sedikit mengantuk”
“psttt..” mata Alessa terjaga, ia menoleh kearah
seseorang yang memanggilnya. Seseorang yang berada dibalik tirai jendela.
Alessa meringis, pikirannya tertuju pada Helena,
teman misteriusnya.
“ini aku..... Helena” benar saja, pikir Alessa. Gadis
itu lalu bangun dari perbaringannya, mengibakkan selimut lalu memantapkan hati
untuk bertemu dengan Helena.
Alessa berjalan perlahan, takut-takut kalau Helena
menjadi semenyeramkan waktu itu. Ia tetap memeluk boneka beruangnya dengan
erat.
Helena tersenyum saat Alessa menyibakan tirai, masih
dengan baju kuno yang dulu. ‘tidak kah dia punya pakaian lain?’ Alessa bertanya
dalam hati, lagian dengan baju seperti itu mana bisa orang normal tahan
terhadap cuaca musim salju, apalagi dengan kaki yang selalu telanjang, itu
sangat tidak mungkin.
“bukakan jendelanya, aku ingin masuk” Alessa hanya
mengangguk, tak bisa mengelak. Ia takut Helena jadi berubah menyeramkan.
Saat jendela kaca tersebut terangkat, udara dingin
menyeruak membentur kulit Alessa yang terbalut piyama tipis bercorak
bunga-bunga. Tanpa dipersilahkan, Helena sudah memanjat dan berhadapan dengan
Alessa. Gadis itu menatap Tonk dengan sudut matanya, ia tersenyum dan memicing.
Alessa memeluk Tonk semakin erat.
Alessa kembali menutup jendelanya rapat-rapat. Ia
menyilahkan Helena duduk namun Helena malah berbaring.
“Helena, aku sudah menceritakan tentang kamu pada
mom”
“lalu?” Helena bangun dan duduk
“mm... mom ingin aku mengenalkanmu padanya”
“ah tidak usah sekarang, sekarang sudah terlalu
malam” Alessa melirik jam digital disebelah ranjangnya ‘11.16 pm’. Lalu diam.
“Alessa, maafkan aku atas kejadian waktu itu” Helena
menatap Alessa dalam, sepertinya memang benar-benar dalam.
“tidak apa-apa Helena, aku sudah memaafkanmu” Alessa
tersenyum, rasa takutnya pada Helena sudah lenyap, mungkin karena tatapannya
itu. Tatapan yang benar-benar magis.
“aku ingin kamu mengunjungi rumahku” Helena berdiri
lalu berjalan kearah jendela dengan langkah ringan seringan kapas yang tertiup
angin. Alessa menatapnya bingung, lalu mengangguk entah kenapa.
Alessa segera mengganti
piyamanya dengan baju tebal dan celana panjang berbahan kulit dan juga sepatu
boots.
Kemudian gadis itu
mengendap keluar bersama Helena.